Kapan... ?
Tangerang Selatan, 14 Juni 2019
Hai. Apa kabar hari ini? Ada pikiran yang mengganggu belakangan ini?
Kalo saya sih kabarnya selalu berusaha baik-baik saja meski ada aja pikiran
yang mengganggu haha. Tapi, dunia maya kan memang tempatnya segudang
pencitraan. Ya meskipun ngga sedikit juga yang tumpah begitu aja di dunia maya.
Apa ya, kayak bocor gitu hihi.
Tapi, hari ini saya ngga mau bahas itu loh ya hihi. Hari ini saya mau
bahas tentang linimasa alias timeline.
Tapi bukan linimasa sosial media ya haha. Ini tentang linimasa kehidupan
(ceilah). Ini sepenuhnya bakal sotoy sih. Bener-bener opini pribadi, tolong
jangan bully saya ya hehe.
Jadi, belakangan ini saya memang lagi super sotoy tentang kehidupan.
Ya kepenginnya sih jadi super sentai tapi apa daya malah jadi super sotoy huhu
(segmented joke mohon maap! Haha).
Coba deh, sebelumnya saya mau tanya, selama momen idul fitri kemarin,
berapa banyak pertanyaan “KAPAN...?” yang kamu terima? Hayo coba diingat-ingat?
Berapa banyak? (dalam hati auto jawab: Ratusan ~) oh atau saya balik
pertanyaannya, berapa banyak pertanyaan sejenis itu keluar dari mulut kamu
untuk orang lain? Hayo?
Jadi nih ya, menurut saya, in my
humble opinion tentunya, pertanyaan “KAPAN...?” ini sebetulnya super racun
banget sih. Kayak, setiap orang itu punya linimasa kehidupannya masing-masing
kan. Setiap orang punya kecepatan masing-masing untuk melalui setiap tahapan
kehidupannya kan. Kecepatan yang tentunya ngga bisa dipukul rata. Bisa jadi sebelum
ditanya “KAPAN...?”, orang tersebut sedang menikmati tahapan kehidupannya saat
itu. Lalu, karena ditanya “KAPAN...?” ditambah embel-embel dibanding-bandingkan
dengan orang lain yang sudah melalui tahapan tersebut dan pindah ke tahapan
selanjutnya, orang tersebut jadi semacam kaget. Panik. Kemudian merasa “ketinggalan”
padahal: ngga, bung! Ngga ada yang ketinggalan atau kalah cepat. Semua orang cuma
ada di linimasa kehidupannya masing-masing.
“Kapan lulus? Si anu lulus cepet loh...”
“Kapan kerja? Si anu lulus langsung kerja di perusahaan itu...”
“Kapan nikah? Si anu udah punya anak segini...”
“Kapan punya anak?”
“Kapan nambah momongan?”
“Kapan punya rumah?”
“Kapan punya mobil?”
“Kapan pergi haji?”
“Kapan berhenti tanya ‘kapan...?’”
Sekali lagi, linimasa kehidupan orang ini kecepatannya beda-beda.
Bahkan, ngga ada juga yang bisa menjamin bahwa tim yang dianggap “mencapai
duluan” bakal hidup dalam posisi yang sama dengan peningkatan signifikan
kemudian bahagia selama-lamanya. Ngga ada sama sekali.
Saya ambil contoh “KAPAN...?” dari urusan pernikahan, yang paling sering
dialami lajang di usia dua puluh lima plus plus seperti saya ehem.
Ada teman saya yang menikah “duluan”, lalu punya anak “duluan”, lalu
bercerai kemudian.
Ada teman saya yang menikah “duluan”, lalu pasangannya meninggal “duluan”.
Ada teman saya yang menikah “duluan”, lalu menunggu datangnya momongan
yang “kelamaan”.
Ada teman saya yang menikah “duluan”, lalu beberapa bulan kemudian
bercerai “duluan”.
Jadi, bagi saya sih tidak ada istilah “duluan”, “kelamaan”, “belakangan”,
“ketinggalan” atau apapun yang sejenis itu dalam linimasa kehidupan seseorang. Bagi
saya, di dalam linimasa kehidupan seseorang, hanya ada TERCAPAI atau TIDAK
TERCAPAI.
Semua tergantung pada takdir Tuhan dan jatah hidup di dunia.
Jika momentumnya tepat, entah kapanpun itu, seseorang yang ditakdirkan
mencapai sesuatu di dunia pada akhirnya akan mencapai sesuatu tersebut.
Namun, tidak semua orang ditakdirkan untuk mencapai hal yang sama di
dunia. Kenapa? Karena kita hidup dalam zona waktu takdir Tuhan dan memiliki
jatah hidup yang terbatas. Gitu. Super sotoy kan? Hahahaha.
Yah, jadi nih, daripada sibuk mikirin ataupun nanyain “KAPAN...?”
dalam bentuk apapun juga, lebih baik kita berusaha hidup dengan baik secara
maksimal. Jadi, semisal jatah hidup kita sudah habis, minimal meski tidak
mencapai apapun yang kita usahakan, setidaknya usaha yang kita lakukan sudah
maksimal. Gitu loh hihi.
Yak semoga kesotoyan ini tidak membuat saya jadi bahan bully netijen
+62. Karena serem ya belakangan ini dunia maya kayak semakin ngga aman gitu.
Komentar semakin ngga terkontrol dan bully semakin merajalela huhu. Kapan-kapan
saya bahas tentang ini juga deh ya.
Sebagai penutup, sebuah saran dari seorang super sotoy yang sebetulnya
kepengin jadi super sentai, daripada nanya “KAPAN...?” coba deh mulai sekarang lebih
baik belajar untuk tanya:
“Apa kabar? Ada pikiran yang mengganggu belakangan ini?”
Comments
Post a Comment