Mana yang Lebih Cerdas? Si Atheis atau Si Theis?
Bicara mengenai Tuhan memang bukan sekadar obrolan ringan di warung kopi
pinggir jalan. Bukan seperti pertanyaan-pertanyaan ringan seputar kabar antar
manusia. Tidak seperti, “Hai apakah kamu percaya Tuhan? Percaya? Oke, kalau
saya sih tidak. Ya, sampai jumpa lagi. Semoga sehat selalu..”. Bicara mengenai
Tuhan akan selalu menjadi perdebatan panjang. Lalu masing-masing akan mulai
menghina kepercayaan satu sama lainnya. Antara si theis dan si atheis.
Tapi jujur saja, saya sendiri bukan tipe yang senang mencibir golongan
lain karena memiliki perbedaan pendapat dengan saya. Misal, jika kamu theis
maka saya tidak akan mencibir dengan mengatakan kamu bodoh karena percaya
dengan mitos rekaan orang jaman baheula mengenai keajaiban Tuhan yang bisa
dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Atau sebaliknya, jika kamu atheis maka saya
tidak akan mencibir dengan mengatakan kamu bodoh karena tidak bisa melihat
keajaiban Tuhan Yang Maha Dahsyat itu. Tidak. Sama sekali tidak.
Maksud saya begini, ada baiknya jika kamu berada dalam situasi
tidak-menyukai-suatu-golongan maka janganlah kamu merendahkan golongan
tersebut. Apakah dengan menjadi atheis lantas kamu menjadi yang paling cerdas
karena tidak berhasil ‘ditipu’ keajaiban Tuhan? Atau sebaliknya, apakah dengan
menjadi theis lantas kamu menjadi yang paling cerdas karena berhasil ‘menemukan’
keajaiban Tuhan? Apakah dengan merendahkan pihak lain kamu lantas naik ke
derajat yang paling tinggi? Kita tidak sedang main jungkat-jungkit, kawan.
Tidak..
Sungguh saya sedih sekali setiap ada golongan-golongan yang saling
cibir, saling menghina tentang ‘ketololan’ pihak lain karena mempercayai apa
yang mereka percayai. Kenapa sih kita tidak saling menghargai perbedaan satu
sama lain? Tak perlu pongah hanya karena memiliki ‘kecerdasan’ berlebih dalam
otak kamu. Apalagi yang satu ini tentang berkeTuhanan dan berkeyakinan. Kamu
memuja ‘kecerdasan’mu secara berlebih ketika kamu menghina mereka yang memuja ‘kepercayaan’
mereka secara berlebih. Lihat, dapatkah kamu menemukan perbedaan antara
keduanya? Sama saja seperti ketika bercermin dan mendapati tangan kirimu seolah
menjadi tangan kanan di dalam cermin, bukan?
Satu hal yang saya peduli dari kalian adalah bahwa kalian ini manusia.
Makhluk yang terlahir berkat suksesnya sperma menjebol ke dalam sel ovum, lalu
berkembang dengan selamat, dan keluar dari rahim dengan selamat pula. Saya
tidak peduli kamu menganut kepercayaan apa. Entah itu Yahudi, Kristen Roma, Kristen
Orthodoks, Islam, Confusius (maaf, saya hapal nama latin dari Beliau saja),
Buddha, Sufi, Satanisme (?), atau jutaan aliran kepercayaan lainnya. Bagi saya,
kita semua sama. Tak ada yang lebih tolol ataupun lebih cerdas dalam menyikapi kepercayaan.
TIDAK ADA.
Jika kamu masih berpikir tentang kamu yang lebih ‘cerdas’ dibanding kaum
‘tolol’ itu, maka sesungguhnya kamu sama saja dengan mereka yang saling bunuh
di berbagai belahan dunia sambil berteriak membela kepercayaan masing-masing.
***
NB:
1. Jika ada yang mencibir tulisan ini dengan mengatakan, “bukankah kamu pernah menulis tentang tololnya berdoa di social media? Kamu juga sama saja!”. Inilah tanggapan dari saya: “saya tidak mengatakan mereka ‘tolol’ secara harafiah. Bahkan sudah saya katakan juga bahwa kepercayaan ada tempatnya masing-masing. Kamu mengaku percaya yang mana? Bagaimana cara kepercayaanmu berdoa? Sejauh yang saya tahu, belum ada keyakinan yang mengajarkan berdoa di social media, namun jika kepercayaanmu memang mengajarkan berdoa di social media, maka dari dalam lubuk hati terdalam saya ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu atas tulisan mengenai social media tersebut.”
2. Jika ada yang mencibir tulisan ini dengan mengatakan, "ah! kamu juga pernah menulis tentang slogan sedekah yang menyesatkan itu kan! kamu juga sok cerdas!". Inilah tanggapan saya: "Karena Tuhan di mata saya lebih dari sekadar tempat minta jatah pahala. Sekali lagi saya katakan, kepercayaan ada tempatnya masing-masing. Jadi, sesungguhnya kamu itu percaya Tuhan atau percaya sedekah? jika ternyata kamu memang percaya sedekah, maka saya ucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas tulisan mengenai sedekah tersebut."
1. Jika ada yang mencibir tulisan ini dengan mengatakan, “bukankah kamu pernah menulis tentang tololnya berdoa di social media? Kamu juga sama saja!”. Inilah tanggapan dari saya: “saya tidak mengatakan mereka ‘tolol’ secara harafiah. Bahkan sudah saya katakan juga bahwa kepercayaan ada tempatnya masing-masing. Kamu mengaku percaya yang mana? Bagaimana cara kepercayaanmu berdoa? Sejauh yang saya tahu, belum ada keyakinan yang mengajarkan berdoa di social media, namun jika kepercayaanmu memang mengajarkan berdoa di social media, maka dari dalam lubuk hati terdalam saya ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu atas tulisan mengenai social media tersebut.”
2. Jika ada yang mencibir tulisan ini dengan mengatakan, "ah! kamu juga pernah menulis tentang slogan sedekah yang menyesatkan itu kan! kamu juga sok cerdas!". Inilah tanggapan saya: "Karena Tuhan di mata saya lebih dari sekadar tempat minta jatah pahala. Sekali lagi saya katakan, kepercayaan ada tempatnya masing-masing. Jadi, sesungguhnya kamu itu percaya Tuhan atau percaya sedekah? jika ternyata kamu memang percaya sedekah, maka saya ucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas tulisan mengenai sedekah tersebut."
Comments
Post a Comment