Posts

Kapan... ?

Image
Tangerang Selatan, 14 Juni 2019 Hai. Apa kabar hari ini? Ada pikiran yang mengganggu belakangan ini? Kalo saya sih kabarnya selalu berusaha baik-baik saja meski ada aja pikiran yang mengganggu haha. Tapi, dunia maya kan memang tempatnya segudang pencitraan. Ya meskipun ngga sedikit juga yang tumpah begitu aja di dunia maya. Apa ya, kayak bocor gitu hihi. Tapi, hari ini saya ngga mau bahas itu loh ya hihi. Hari ini saya mau bahas tentang linimasa alias timeline . Tapi bukan linimasa sosial media ya haha. Ini tentang linimasa kehidupan (ceilah). Ini sepenuhnya bakal sotoy sih. Bener-bener opini pribadi, tolong jangan bully saya ya hehe. Jadi, belakangan ini saya memang lagi super sotoy tentang kehidupan. Ya kepenginnya sih jadi super sentai tapi apa daya malah jadi super sotoy huhu ( segmented joke mohon maap! Haha). Coba deh, sebelumnya saya mau tanya, selama momen idul fitri kemarin, berapa banyak pertanyaan “KAPAN...?” yang kamu terima? Hayo coba diingat-ingat?

M N K H

Tangerang Selatan , 25 Maret – 02 Desember 2018 M E N I K A H. ME NI KAH. MENIKAH. KAPAN? Di usia rawan seperti saya (duapuluh lima tahun plus plus), pertanyaan “kapan menikah?” menjadi lebih sering terdengar ketimbang pertanyaan “sudah makan belum?”. Mungkin, selain di usia segini kami sudah lebih paham bahwa kesehatan tubuh seperti urusan asupan makan patut dijaga tanpa perlu diingatkan orang lain, faktor lainnya adalah usia segini sudah termasuk di dalam daftar usia ideal untuk menikah menurut BKKBN. Cateuut . Saking seringnya ditanya mengenai pernikahan, saya jadi kepikiran: “Kenapa seseorang memutuskan untuk menikah?” Kira-kira kenapa ya? Bahkan lebih spesifik lagi, kira-kira, kenapa ya seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangannya tersebut? Iseng-iseng, beberapa waktu lalu, saya lemparkan pertanyaan tersebut di salah satu akun sosial media saya. Secara mengejutkan, responnya ramai juga. Mulai dari yang paling serius sampai yang paling lawak, ad

Perempuan-perempuan Patriarki

Jombang, 01 Maret 2018 P E L A K O R. Gila yah. Belakangan ini istilah PELAKOR tuh kayak viral banget. Sebentar – sebentar pelakor, apa –apa pelakor. Sebagai seorang perempuan, kesel ngga sih dengar istilah begitu? Kalo saya sih, dari lubuk hati yang paling dalam, kesel banget. PELAKOR alias Perebut Laki Orang, menurut saya adalah istilah yang sangat merendahkan kaum perempuan. Nangis deh itu Ibu Kartini kalo dengar perempuan Indonesia gampang banget ngatain perempuan lainnya dengan sebutan pelakor. Saya bukan membela pelakor loh ya. Cuma, istilah pelakor itu memang keterlaluan sih. Kayak si Lelaki nya ngga ada salah-salahnya sama sekali. Padahal yang namanya perselingkuhan kan ya salah dua-duanya dong. Situ udah punya komitmen sama orang lain kok ya pasrah aja “direbut”, situ sehat? Tinggal di negara yang kental dengan budaya Patriarki memang mesti sering elus-elus dada supaya sabar menghadapi kaum lelaki yang sering merasa punya kuasa dan cenderung merendahkan perempuan

Mukanya Mana, Sist?

Jombang, 17 Februari 2018 Hai. Hai. Hai. Gila ya pas ngelihat tanggal postingan terakhir tuh kayak: “ where have you been , Manusia Abu-abu?” Well , sok sibuk sama kehidupan IRL ( In Real Life ) sih kayaknya. Harap maklum hehe. Sebetulnya banyak yang mau saya bahas, tapi malas juga bahas yang berat berat di suasana long weekend kayak gini. Kartu kuning: skip. Perceraian Bapak Sipit: skip. Pilkada: skip. Pernikahan cincin 200 juta nyemplung di ancol: demi apapun ini menarik banget sebetulnya tapi apa ada saya ngga kuwat nulisnya, saya rasa kemampuan saya menguntai kata demi kata sulit menyaingi Om satu itu jadi dengan berat hati bahasan ini saya skip juga… hashtagHalah hashtagSakarepmu. Okay. Jadi hari ini saya mau bahas tentang foto aja. Sudah beberapa bulan belakangan ini, saya memang tak lagi memajang foto wajah di sosial media manapun (selain facebook sama path yang isinya orang orang kenal banget dan private banget). Bahkan di Instagram yang basisnya album foto do

You Are WEREWOLF!

Image
Pamulang, 11 Mei 2017 Beberapa waktu lalu, saat liburan bersama sekumpulan teman lama di sebuah villa, saya memainkan sebuah permainan kartu yang menarik sekali. Menurut saya sih, lebih seru dibanding UNO yang sudah nge-hits lebih dulu. Mungkin kalian ada yang sudah pernah dengar nama permainannya? Sama seperti judul tulisan ini, nama permainannya: WEREWOLF. wooo awooooo.. terdengar seram gitu ya? haha. Tapi, mainan ini ngga ada adegan gigit-gigitan di antara pemainnya kok. Jadi, kalian ngga perlu khawatir. Cumaaaa, biarpun ngga ada adegan gigit-gigitan antar pemain, kayaknya kalo ada pemain yang couple -an sih yaaaa.. lumayan bikin greget gitu.. *ketawa jahad* Jadi, apa sih sebenarnya permainan WEREWOLF itu? Penjelasan lengkapnya bisa dilihat langsung di sini , tapi singkatnya menurut saya sih ini semacam main polisi-polisian. Dalam permainan, ada satu orang yang bertugas jadi moderator dan tidak memiliki peran langsung dalam permainan. Moderator ini ibarat 'Tuhan'-

Perihal BAPER dan Pengakuan Manusia Yang Tidak Peka

Pamulang, 01 April 2017 BAPER sepertinya belakangan ini lumayan menjadi kata yang viral di seantero pergaulan baik dunia maya maupun nyata yahh? (ceilah bahasanya!) Baper atau bawa perasaan menurut hemat saya, dapat dimaknai sebagai perasaan super sensitif . Yah atau kalau mau paket yang super hemat lagi, yaa kurang lebih sih: apa-apa dimasukkan ke dalam hati . Jadi, orang yang baper ini aduhai selalu pakai hati. Ibaratnya benda, macam keramik, kesenggol sedikit bisa langsung wassalam deh. Segala macam tindak tanduk orang lain di sekitarnya, disangka kode ataupun sindiran. Yaaa, ngga salah juga sih cuma yaaa gimana ya kalau segala hal dimasukkan ke dalam hati. Kan kalau kamu lihat ada orang bawa bantal, belum tentu mereka mau tidur kan? Hmm..... Sementara, di sisi lain, ada juga nih yang berkebalikan dengan baper, yaitu Manusia Yang Tidak Peka. Makhluk-makhluk ini biasanya kebangetan cueknya. Mungkin orang melihatnya sebagai manusia yang tidak memiliki hati sama sekali. Padahal,

Bro, Sis, Keluarga Kecilmu Bukan Trophy Kemenangan Loh...

Ciputat, 03 Maret 2017 Belakangan ini, entah karena usia saya yang memang sudah tergolong cukup matang untuk sebuah komitmen jangka panjang berjudul pernikahan, atau memang masyarakat seusia saya sungguhan sedang giat berlomba-lomba untuk menikah dan bereproduksi. Saya bukannya iri dengki karena sampai saat ini Alhamdulillah masih belum dikaruniai kekasih, tapi saya merasa masih banyak masyarakat kita ini yang memperlakukan suami/istri dan anak kandung sebagai sebuah trophy kemenangan yang perlu didapatkan sesegera mungkin. Lihat saja pertanyaan yang dilontarkan saat bertemu orang yang sudah lama tidak ditemui, umumnya langsung tanya: ‘sudah menikah belum? Sudah punya anak berapa?’ atau ‘sudah punya pacar? Kapan nih kirim undangan?’. Apakah pernikahan telah berubah menjadi sebuah tujuan hidup paling superior di dalam masyarakat kita? Seolah kaum yang sudah menikah adalah pemenang sejati kesuksesan hidup. Bahkan mereka yang sudah dipercayakan memelihara anak dapat dikatakan lebih s